APAKAH YANG DIMAKSUD KAMMA ?

     Pada hari ini,saya akan mencoba untuk menguraikan tentang hukum kamma. Kadang-kadang umat Buddha salah mengerti tentang hukum kamma, seolah-olah hukum kamma itu tidak adil. “kok, saya ini sudah sudah berbuat baik, berbuat kebajikan, membantu ke vihara, berdana, berusaha tidak berbuat yang tidak baik. Katanya siapa yang selalu berbuat baik dialah yang menerima buah kebahagiaan. Tapi apa yang saya perbuat itu kok yang saya terima malah sebaliknya”. Dari peristiwa yang dialaminya maka hukum kamma dianggap tidak adil. Ini merupakan pandangan yang salah sekali sebagai umat Buddha. Hukum kamma disebut juga hukum sebab akibat, jadi tidak ada suatu akibat yang terjadi tanpa di awali oleh sebab. Ada sebab lalu timbul akibat. Akibat itu menajdi sebab yang baru sehingga timbul akibat baru. Demikian seterusnya, rangkaian sebab dan akibat ini tidak bisa dipisahkan bagi manusia yang masih memiliki banyak keinginan. 

Menurut ajaran Sang Buddha, kamma atau perbuatan akan menimbulkan akibat karena diawali dengan cetana (kehendak). Oleh karena ada niat, kemudian niat itu terus timbul dalam pikiran, dan selanjutnya berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan badan jasmani. Nah ! inilah yang disebut hukum kamma, yang akan menimbulkan akibat.Kalau kita berbuat tanpa disertai dengan niat maka tidak akan timbul akibat. Seperti yang dikisahkan pada jaman Sang Buddha, ada seorang bhikkhu yang bernama Bhikkhu Cakkhupala.

Dalam suatu masa vassa ia bertekad, “selama vassa ini (selama tiga bulan lamanya) saya tidak akan berbaring”. Karena tekadnya itu hingga menimbulkan mata sakit, dia tetap tidak mau berbaring. oleh karena itu, obat mata yang di teteskan di matanya selalu mengalir keluar. Ahkirnya mata Bhikkhu Cakkhupala menjadi buta. Beliau ahkirnya suka bermeditasi dengan cara berjalan. Karena matanyabuta, dalam melakukan meditasi itu ia menginjak banyak semut, cacing, kecoak, dan lainya sebagainya hingga mati. Hal ini dilaporkan kepada Sang Buddha. Lalu Sang Buddhamemangil Bhikkhu Cakkhupala dan bertanya, “Apakah engkau ada niat untuk membunuh mahluk yang telah kau injak itu ?”“Bagaimana saya punya niat untuk membunuhnya, Sang Buddha, mata saya buta”. “Oh, kalau demikian itu bukan kamma, karena tidak ada niat”. Banyak bhikkhu yang tidak tidur selama masa vassa tetapi nyatanya banyak yang sehat matnya. Lalu Sang Buddha menerangkan bagaimana rangkaian perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan perbuatan yang telah dilakukan sehingga menyebabkan kebutaan pada bhikkhu Cakkhupala. 

Diceritakan pada suatu masa kehidupannya yang lampau, bhikkhu Cakhhupala pernah menjadi seorang tabib yang bias mengobati orang sakit mata. Sejak jaman dahulu jika orang mau berobat harus ada imbal baliknya, dokter yang mengobatinya harus dibayar. Demikianlah, ada seorang pembantu yang ingin berobat tapi ia tidak punya uang. Kalau dia mengatakan terlebih dahulu bahwa ia tidak punya uang, mungkin nanti tidak diobatinya, tapi setelah sembuh ia tidak mau bayar. Ia lantas pura-pura masih sakit. “Aduh, tabib bagaimana mata saya ini belum bisa melihat dengan jelas ?” Sang tabib menjawab, “baiklah, saya akan melanjutkan pengobatannya, matamu agar normal kembali”. Sang tabib sebenarnya tahu bahwa pasienya sudah sembuh tapi berpura-pura masih sakit. Secara diam-diam ia menyimpan dendam. “orang ini, matanya sudah sembuh tapi dia berkata masih sakit, agar tidak membayar biaya pengobatannya”. 

Tabib itu tidak tahu kalau pasienya itu hanyalah seorang pembantu yang miskin. Sang tabib memberikan obat lagi, obat yang mengandung racun, dan dengan dendamnya ia mengatakan dalam hatinya, “Rasakan kamu nanti akibatnya, sudah sembuh bilang belum sembuh.” Dengan obat yang mengandung racun itu, si pembantu (pasienya) menjadi buta. Ahkirnya sang tabib pun memetik akibatnya, setelah menjadi bhikkhu pun dia masih memetik buahnya. Dia pernah membuat buta orang lain, ia kemudian menjadi buta. Pada saat itu ia sudah mencapai kesucian, matanya buta tetapi batinya sudah terang, sudah melihat Dhamma. Inilah kamma, ada niat, berusaha dilakukan dan berhasil dilakukan. Sehingga menimbulkan akibat dan yang dinamakan kamma. 

Ada empat macam kamma menurut fungsinya. Kamma ini tidak dapat berjalan sendiri tanpa ada factor-faktor yang lainya. Kamma tersebut sangat menentukan, tetapi factor yang lain juga menentukannya. Tidak bias tumbuh sendiri. Yaitu  kamma yang menyebabkan kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. kamma jenis ini harus disertai dengan faktor lain yang dapat menunjangnya.  Misalnya, bagi mahluk hidup yang lahir melalui kandungan, factor pendukungnya adalah adanya ayah dan ibu yang mengadakan hubungan badaniah, bertemunya benih sel seperma dan sel telur yang terjadi proses pembuahan. Proses pembuahan itu adanya patisandhi vinnana (getaran kesadaran) yang masuk. 

Mahluk yang melalui telur juga ada faktor pendukungnya. Adanya proses pembuahan tadi, kemudian ada telur yang keluar, ada betina yang mengeraminya akhirnya menetas. Para dewa mempunyai perkecualian. Factor yang menunjang adalah kebajikan. Karena banyak berbuat baik maka seseorang dapat terlahir di alam dewa. Demikian pula mahluk yang menderita yang lahir di alam yang menyedihkan karena banyak berbuat yang jahat. 

Kamma yang berfungsi membantu memperlemahkan apa yang telah dihasilkan oleh kamma di atas. Mengapa mahluk itu lahir ? Mahluk tersebut karena ia mempunyai simpann kamma. Jadi menurut agama Buddha tidak benar kalau kita mengatakan bahwa bayi yang baru itu masih suci. Kadang-kadang kita berpendapat kalau bayi yang baru lahir kemudian meninggal pasti masuk surga karena ia masih suci, dia belum pernah berbuat apa-apa. Menurut pandangan agama Buddha pendapat tersebut merupakan pengertian yang salah, karena bayi tersebut – walaupun belum sempat berbuat kamma dalam kelahiran yang baru ini – telah mempunyai simpanan kamma dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.

Komentar

Postingan Populer