PENERAPAN PANCASILA BUDDHIS DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI BY BHANTE UTTAMO

 Pancasila berasal dari dua kata yaitu panca dan sila. Panca berarti lima (Pali Dictionary) dan sila berarti sifat alami, adat kebiasaan, praktik moral, kode dari kemoralan (Pali Dictionary). Jadi Pancasila adalah lima adat kebiasaan atau praktik moral dalam Agama Buddha. Pancasila adalah latihan moral tahap pertama dari seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama menurut Agama Buddha. Sila ini bila dilaksanakan dengan baik akan membawa kehidupan sewarga, baik sebagai manusia atau sebagai dewata. Pancasila Buddhis digunakan untuk seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda: “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar, dan memenuhi  segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya.”

Dhammapada, XVI: 217 dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pancasila merupakan dasar utama dalam pengamalan ajaran agama. Sebagai umat Buddha, pancasila Buddhis ini sebaiknya dilaksanakan dengan tekun, ketat, dan sesuai ajaran Sang Buddha. Pancasila Buddhis apabila dilakukan, akan membawa manfaat yang sangat banyak bagi kehidupan sehari-hari. Antara lain kita akan mendapatkan perlindungan dari Sang Buddha. Pelaksanaan aturan moralitas Buddhis bagi umat awam bertujuan untuk memperoleh kedamaian dan ketenangan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sila adalah langkah terpenting dalam menjalani kehidupan untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Menjalani pancasila Buddhis dengan tekun, hendaknya umat tidak boleh melanggar pancasila Buddhis.

Pancasila di dalam Agama Buddha terdiri dari lima latihan moral, yaitu Pāṇatipātā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. Adinnādānā veramaṇi sikkhāpadaṁ samadiyāmi aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, Kāmesu micchācārā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila. Musāvādā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan yang tidak benar,Surāmeraya majjapamādaṭṭhānā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan. Pāṇatipātā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. Kita sebagai umat Buddha seharusnya menghindarkan diri dari pembunuhan makhluk hidup. Kita tidak boleh membunuh dari hewan yang paling kecil seperti semut, kutu sampai hewan yang besar. Suatu pembunuhan telah terjadi apabila terdapat lima faktor, yaitu Ada makhluk hidup, mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup, Berniat untuk membunuh, Melakukan usaha untuk membunuh, Makhluk tersebut mati karena usaha itu. Apabila terdapat faktor-faktor tersebut di atas dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Karena sila sangat berpengaruh pada kamma, dan kamma inilah yang akan membawa ke mana kita akan terlahir kembali. Untuk itu hindarkanlah diri kita dari perbuatan pembunuhan. Senantiasa menginginkan kesejahteraan bagi semua makhluk dilandasi dengan rasa cinta kasih. Jadi seorang umat yang melanggar pembunuhan hidupnya tidak tenang, umurnya relative pendek, dan cenderung memiliki penyakit.

 Dalam Saṁyutta Nikāya (III, 15) Buddha mengajarkan: “Pembunuh melahirkan pembunuh”. Dikisahkan seperti cerita dari keturunan Raja Bimbisara. Keturunan Raja Bimbisara ini adalah mereka yang membunuh ayahnya masing-masing. Salah satu anaknya dari Raja Bimbisara yaitu Raja Ajatasattu yang membunuh Raja Bimbisara (ayahnya sendiri). Ini adalah kisah singkat mengenai pembunuh melahirkan pembunuh. Adinnādānā veramaṇi sikkhāpadaṁ samadiyāmiaku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian. Semua agama juga mengajarkan untuk tidak mencuri. Dalam Agama Buddha, mencuri adalah pelanggaran sila kedua. Buddha mengajarkan bahwa Akibat mencuri akan membawa penderitaan bagi si pencuri itu sendiri. Hal ini diuraikan jelas di dalam kitab Saṁyutta Nikāya (III, 15), ketika beliau berkata kepada para bhikkhu bahwa manusia mencuri akan berakibat “Ia akan terus merampok/mencuri, hingga saat tindakan tersebut menjadi penyebab kematiannya”.

Jadi si pelaku itu akan terus mencuri, sebelum dia menyesal bahwa pencurian mengakibatkan dia terlahir di alam rendah. Untuk itu dia harus menyadari bahwa mencuri itu adalah perbuatan yang buruk serta melanggar sila. Akibat melanggar sila ini adalah si pelaku terlahir di alam Apaya. Suatu pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor, sebagai berikut Suatu barang milik orang lain, Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya, Berniat untuk mencurinya, Melakukan usaha untuk mengambilnya, Berhasil mengambil melalui usaha itu.

Yang dimaksud dengan berhasil melalui usaha itu adalah apabila barang itu telah berpindah dari tempat semula. Misalnya seseorang mengambil handphone, dan handphone itu sudah berpindah dari tempatnya, itu sudah dikatakan mencuri, Contohnya lagi, ketika seseorang mencuri dan tiba-tiba pemiliknya datang, kemudian ia mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, ia sudah dikatakan mencuri, karena barang tersebut sudah berpindah dari tempatnya. Pelanggaran sila berakibat sangat buruk, sesuai dengan kekuatan kehendak untuk mencuri, nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemiliknya (orang suci). Bila kita tidak mau kehilangan apa yang kita miliki, kita tidak boleh mengambil barang milik orang lain. Seseorang hendaknya memiliki rasa saling menghargai kepemilikan orang lain terhadap benda tersebut. Jadi dengan menghargai kepemilikan orang lain, kita juga menghargai benda yang kita miliki.

Kāmesu micchācārā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi Aku bertekad untuk menghindarkan diri dari perbuatan asusila. Menahan diri merupakan hal yang terpenting dalam Buddhisme. Untuk itu kita harus menjaga perilaku kita sebaik mungkin, agar pelanggaran sila ketiga ini tidak muncul. Perilaku seksual bermacam-macam, di antaranya: Berzinah, Perkosaan, dan Perselingkuhan. Suatu tindakan asusila telah terjadi bila terdapat lima faktor yang terdiri dari; Orang yang tidak patut untuk disetubuhi, Mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut, Melakukan tipu daya untuk menyetubuhinya, Melakukan usaha untuk menyetubuhinya, Berhasil menyetubuhinya, Mengenai wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (agamaniaoutthu) adalah; Wanita di bawah perlindungan ibunya (Maturakkhita), Wanita di bawah perlindungan ayahnya (Piturakkhita), Wanita dalam perlindungan ayah dan ibunya (Matapiturakkhita), Wanita dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (Bhaginirakhita), Wanita dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (Bhaturakkhita), Wanita dalam perlindungan sanak keluarganya (Natirakkhita), Wanita dalam perlindungan orang sebangsanya (Gotarakkhita), Wanita dalam perlindungan pelaksana Dharma (Dhammarakkhita), Wanita yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (Saparidanda), Wanita yang sudah bertunangan (Sarakkheta), Wanita yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orangtuanya (Dhanakkheta), Wanita yang tinggal bersama lelaki yang dicintainya (Chandavisini), Wanita yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (Bhagavasini), Wanita yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan barang-barang sandang (Patavansini).

Wanita yang resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (Odapattagagini), Wanita yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (Abhatasumbatta), Wanita tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (Dhajabata), Wanita pekerja yang dikawini oleh majikannya (Kammakaribhariya), Wanita budak yang kemudian dikawini oleh majikannya (Dasibhari), Wanita yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (Muhuttika), Hal-hal lain yang dikategorikan pelanggaran sila ketiga yang harus juga dihindari adalah Berzinah (melakukan hubungan kelamin bukan dengan suami/istrinya).

Berciuman yang disertai nafsu birahi Menyenggol, mencolek, meraba, dan sejenisnya yang disertai nafsu birahi Yang dimaksudkan dengan berhasil menyetubuhi atau berhubungan kelamin adalah berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam salah satu dari Rahim, Dubur, dan Mulut walaupun sedalam biji wijen. Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya, serta status atau tingkat rohani dari wanita yang menjadi korban, misalnya seorang bhikkhuni, wanita yang telah mencapai kesucian, dan wanita dengan spiritual yang baik. Buah kamma yang kita dapat, apabila kita melanggar sila ketiga yaitu kita tidak disenangi teman, mempunyai Pasangan Hidup yang tidak disenangi orang lain, dan terlahir sebagai kasim, waria, banci, lesbi, homoseksual dan atau pencinta sesama jenis.

Musāvādā Veramaṇi Sikkhāpadaṁ Samādiyāmi Aku bertekad akan melatih diri menghindarikan diri dari berbohong. Seorang umat awam hendaknya menghindari perkataan yang tidak benar dan selalu mengucapkan kata-kata yang sopan. Sehingga, di dalam hidup bermasyarakat akan tercipta suasana yang tenang, karena tidak ada kebohongan di antara semuanya. Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari Sesuatu atau hal yang tidak benar, Mempunyai niat untuk menyesatkan, Berusaha untuk menyesatkan, Orang lain jadi tersesat, Buddha mengajarkan “Seseorang seharusnya mengucapkan hanya ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan, apa yang diucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain”.

(Saṁyutta Nikāya, 2010 : 287) Dalam kehidupan sehari-hari kita hendaknya berbicara dengan benar dan gembira. Suatu perkataan itu mengandung makna dan bermanfaat. Sehingga orang yang mendengar akan senang dengan ucapan kita. Dalam Kakacūpama Sutta, Majjhima Nikāya 1, Buddha mengatakan bahwa, ucapan benar dapat terjadi apabila terdapat lima syarat sebagai berikut Ucapan itu tepat pada waktunya, Ucapan itu sesuai kebenaran, Ucapan itu lembut, Ucapan itu bermanfaat, Ucapan itu penuh cinta kasih, Penjelasan di atas merupakan syarat dari Ucapan Benar. Seorang umat Buddha sebaiknya melakukan suatu pengucapan sesuai lima syarat di atas. Ucapan benar akan menimbulkan Kebijaksanaan, menciptakan perdamaian, dan menjauhkan perpecahan.

Ucapan yang tidak benar ini akan menimbulkan Kamma buruk bagi pelakunya. Pelaku bisa tidak dipercayai oleh orang lain dan menderita karena dia telah mengucapkan perkataan yang tidak benar. Untuk itu hindarilah ucapan berbohong dan selalu mengucapkan kata-kata yang benar dan bermanfaat.

Surāmeraya Majjapamādaṭṭhānā Veramaṇi Sikkhāpadaṁ Samādiyāmi Aku bertekad akan melatih diri menghindari dari minum minuman keras yang dapat melemahkan kesadaran. Hilangnya pengendalian terhadap kesadaran dapat mengakibatkan hilangnya pengendalian terhadap pikiran, ucapan, dan perbuatan. Kata “Surāmeraya Majjapamādaṭṭhānā” terdiri dari empat kosakata, yaitu : Sura, Meraya, Majja, dan Pamadatthana. “Meraya” mengacu pada minuman keras yang diperoleh dari bahan yang diragikan dan dapat menyebabkan orang yang meminumnya tak sadarkan diri, bila kadarnya tinggi maka disebut “Sura” yaitu hasil penyulingan yang mempunyai kekuatan untuk membius. Kata “Majja” dapat diartikan berbagai jenis ganja, morfin, heroin, dan lain sebagainya. “Pamadatthana” terdiri dari dua kata yaitu “Pamado” yang berarti Kelengahan, Kecerobohan, Kelalaian, dan “Thana” yang berarti landasan atau basis. Sehingga “Pamadatthana”berarti yang menjadi dasar/landasan timbulnya kelengahan, kecerobohan, kelalaian. Seseorang yang melanggar sila kelima ini kesadarannya hilang dan dia dapat melakukan apa saja yang dapat membahayakan dirinya sendiri.

Sila kelima ini telah dilanggar, apabila terdapat lima macam faktor sebagai berikut; Ada sesuatu yang merupakan“Sura”, “Meraya” atau “Majja” yaitu sesuatu yang membuat nekat,mabuk, tidak sadarkan diri, yang menjadi dasar dari kelengahan dan kecerobohan, Ada niat untuk meminum, menggunakannya, Meminum atau menggunakannya, Timbul gejala-gejala mabuk, Mabuk (Kehilangan kesadaran). Tujuan dari pelaksanaan sila kelima ini adalah untuk melatih kesadaran kita terhadap segala hal yang dapat memperlemah pengendalian diri dan kewaspadaan. Dengan mengontrol pikiran dengan benar, dan selalu waspada terhadap segala tindakan yang kita perbuat. Jadi, waspadalah terhadap semua tindakan yang akan kita perbuat. Dari uraian-uraian di atas, dapatlah kita ketahui bahwa peranan pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari sangat bermanfaat terlebih-lebih pada zaman sekarang. Di mana zaman sekarang banyak umat Buddha yang moralitasnya turun. Di samping moralitas mulai turun, mereka juga belum mengerti sepenuhnya tentang akibat pelanggaran dari pancasila Buddhis. Dengan penerapan pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari diharapkan semua umat awam menjalaninya dengan sungguh-sungguh. “Dan, para perumah tangga, ada lima keuntungan dari seseorang yang bermoralitas baik dan yang berhasil dalam moralitas. Apakah lima ini? Pertama, karena penuh perhatian terhadap tugas-tugasnya, ia memperoleh keuntungan dan kekayaan. Kedua, ia memperoleh reputasi baik karena moralitas dan perbuatan baiknya. Ketiga, kelompok apapun yang ia datangi, apakah Khattiya, Brahmana, perumah tangga atau petapa, akan melakukannya dengan penuh keyakinan dan penuh percaya diri. Keempat, ia meninggal dunia dengan tenang dan tidak bingung. Kelima, setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia muncul di alam yang baik, di surga. Ini adalah lima keuntungan dari seseorang yang bermoral baik, dan yang berhasil dalam moralitas”. Dīgha Nikāya 16 (1.24)

 

Komentar

Postingan Populer