PENOLONG GAJAH BY SUTRA TENTANG YANG BIJAK DAN YANG DUNGU
Demikian telah saya dengar pada suatu ketika: Sang Buddha sedang berdiam di Kota Sravasti di Biara Jetavana, Taman Anantapindika. Pada saat itu, ada seorang putra yang lahir dari seorang perumah tangga yang tinggal di negeri Magadha. Anak itu tampan dan menarik dan ketika dia dilahirkan, seekor bayi gajah emas muncul di harta milik perumah tangga itu. Ketika seorang peramal dipanggil untuk memberikan nama kepada anak itu dan bertanya tanda-tanda apa yang muncul pada saat kelahirannya dan diberitahu tentang gajah emas itu, dia memberikan nama ‘Penolong Gajah’ kepada anak itu. Ketika anak itu dewasa, gajah itu juga tumbuh dan menemani dia kemanapun. Suatu hari ketika Penolong Gajah sedang bermain dengan lima anak laki-laki dari perumah tangga lainnya yang merupakan temannya, anak-anak itu mulai menunjukkan benda-benda indah yang mereka miliki di rumah. Seorang anak laki-laki berkata bahwa di dalam rumahnya kursi-kursi dan tempat tidur dibuat dari tujuh permata. Yang lain berkata bahwa di rumahnya pavilion dibuat dari permata. Yang lain berkata bahwa di rumahnya ada peti hartanya dipenuhin oleh emas dan benda-benda berharga. Kemudian Penolong Gajah memberitahu mengenai gajahnya: “Ketika saya lahir seekor bayi gajah dari emas muncul. Ketika saya tumbuh, dia juga tumbuh dan bahkan mengetahui pikiranku. Saya menunggang gajah ini pergi kemanapun saya ingin pergi. Bahkan kotoran dan air seninya merupakan emas murni. Itulah gajah yang kumiliki.” Salah satu di antara anak laki-laki itu adalah Pangeran Ajatasatru, ketika dia mendengar tentang gajah ini, berpikir: “Ketika saya menjadi seorang Raja saya akan mengambil gajah emas itu dari anak laki-laki itu.”
Ketika Pangeran Ajatasatru dewasa dan menjadi Raja, dia memanggil Penolong Gajah dan memerintahkannya untuk memberikan gajah emas itu. Ketika Penolong Gajah kembali ke rumah dan melaporkan hal ini kepada orang tuanya, mereka memberitahunya: “Putraku tersayang, Ajatasatru kejam, serakah, dan lekas marah. Dia mmbunuh ayahnya sendiri dan membunuh orang lain dianggap sebagai permainan anak-anak baginya. Dia akan mengambil gajah darimu dengan berbagai cara, sehingga akan lebih baik engkau memberikan kepadanya.” Anak itu menjawab: “Tidak seorang pun dapat mengambil gajahku dari tanganku.” Tapi ayah dan anak laki-laki naik ke atas gajah dan menungganginya ke istana Raja. Mereka turun, menunduk kepada Raja, dan mengucapkan salam sejahtera kepada Raja. Raja itu senang, mempersilahkan mereka untuk duduk, dan menawarkan mereka makanan dan minuman. Ketika mereka berbincang-bincang. Raja berkata dia akan sangat senang menerima gajah itu dan mereka boleh kembali.
Anak laki-laki dan ayajmua meninggalkan gajah itu dengan Raja dan mulai keluar dengan berjalan, tetapi ketika mereka pergi belum jauh gajah itu melarikan diri dan muncul di depan mereka. Pikiran kemudian datang kepada penolong gajah: “Raja Ajatasatru tidak mengikuti Dharma, dan jika dia marah karena gajah itu, dia akan membuat masalah denganku. Buddha sekarang berdiam di dunia untuk kebahagiaan dan memberi manfaat makhluk. Saya akan pergi kepadaNya dan menjadi seorang bhiksu.” Memperoleh izin dari orang tuanya, dia menunggangi gajah itu, pergi ke Taman Ananthapindika, menundukkan kepalanya di kaki Buddha, beranjali, dan berkata: “Bhagava, saya memohon untuk menjadi bhiksu.” Ketika Buddha berkata:”Selamat Datang.” Rambut dan jambangnya rontok dan dia menjadi seorang bhiksu.
Ketika Bhagava telah mengajarkannya Empat kebenaran, dia menjadi seorang arahat. Kemanapun Bhiksu penolong Gajah itu duduk bersaa dengan bhiksu-bhiksu yang lain, gajah itu akan datang dan duduk di samping dia. Semua orang di kota Srabejanati akan datang dan memberikan jalan kepada gajah itu. Hal itu membuat para bhiksu tidak bisa bermeditasi dan mereka mengekuh kepada Buddha mengenai hal ini. Bhagava memanggil Penolong Gajah dan memberitahu mereka:”Bhiksu, ketika semua orang datang untuk melihat gajahmu itu adalah akhir dari meditasi. Engkau harus membuangnya dengan segera.” Penolong Gajah: “Bhagava, ketika dulu saya pernah mencoba untuk membuangnya, saya tidak bisa. Apa yang harus saya lakukan?” Buddha berkata: “Bhiksu, katakanlah kepada gajah itu tiga kali: ‘Gajah, saya meninggalkan rumah dan menjadi seorang bhiksu.
Di masa yang akan datang saya tidak akan membutuhkanmu’ – kemudian gajah itu akan menghilang.” Bhiksu ini melakukan hal ini dan gajah itu menghilang ke dalam bumi. Ketika bhiksu-bhiksu lain melihat hal ini, mereka takjub dan berkata kepada Buddha: “Bhagava, perbuatan baik apa yang telah dilakukan oleh bhiksu ini sebelumnya sehingga buahnya begitu matang? Apa alasan untuk hal ini? Buddha berkata: “dalam ladang kebajikan Tiga Permata, apapun benihnya tidak masalah betapa kecilnya, seorang manusia menabur yang akan dipanen sangat besar. Di masa lampau, Buddha Kasyapa datang ke dunia untuk memberi manfaat kepada makhluk hidup dan umur manusia pada saat itu dua puluh ribu tahun. Ketika Buddha telah menolong makhluk hidup dan masuk Nirwana, banyak stupa yang dibangun untuk menyimpan reliknya. Dalam satu stupa ada patung seekor gajah yang merupakan kendaraan Bodhisatva ketika mereka turun dari Tusita untuk memasuki Rahim ibunya. Patung gajah ini sedikit rusak. Ketika seorang pria datang ke stupa untuk menghormatinya dan melihat patung rusak itu, dia berpikir: ‘Ini adalah kendaraan Bodhisatva. Saya harus memperbaikinya.’ Dia kemudian memperbaiki patung itu dengan tanah liat dan mengecatnya. Sambil meminyakinya, dia membuat harapan: ‘Di masa akan datang semoga saya selalu terlahir di kasta yang tinggi dan memiliki kekayaan tanpa batas.’ Ketika pria itu meninggal dia terlahir di antara para dewa tertinggi dan setelah itu, dia terlahir sebagai manusia berkasta tinggi dan dengan kemakmuran yang besar. Ananda, Bhiksu ini, Penolong Gajah adalah pria yang memperbaiki patung gajah itu. Dia selalu terlahir dengan memiliki kekayaan yang luar biasa dan di antara para dewa dan manusia. Karena dia berkeyakinan pada Tiga Permata, dia sekarang bertemu saya, menjadi seorang bhiksu, semua ketidakmurniaan batinnya telah dibersihkan, dan dia menjadi seorang Arahat.” Ketika Yang Mulia Ananda dan kumpulan besar setelah mendengar perkataan Buddha mereka berkeyakina dan bermudita cita.
Komentar
Posting Komentar