4 SIFAT KARMA
Kepastian karma lamrim Agung menyatakan sebagai
berikut, “Semua kebahagiaan (dalam artian perasaan menyenangkan), baik yang
dialami oleh makhluk biasa ataupun makhluk agung, bahkan termasuk kesenangan
terkecil seperti angin semilir yang menyejukkan makhluk neraka, muncul dari
karma bajik yang telah dihimpun sebelumnya. Kebahagiaan mustahil diakibatkan
oleh karma buruk. Semua penderitaan (dalam artian perasaan tak menyenangkan),
termasuk bahkan penderitaan terkecil yang melintas dalam arus batin seorang
Arhat, muncul dari karma buruk yang telah dihimpun sebelumnya.
Penderitaan
mustahil diakibatkan oleh karma bajik.” Sebuah kutipan dari Untaian Berharga karya
Arya Nagarjuna berbunyi: “Dari ketidakbajikan, muncul segala bentuk
penderitaan, dan tentu saja, semua alam menyedihkan. Dari kebajikan, muncul
segala bentuk kebahagiaan, dan tentu saja, semua alam menyenangkan”.
Kebahagiaan dan penderitaan tak bisa terjadi tanpa adanya sebab masing-masing.
Sebab-sebabnya
harus memiliki hakikat yang sama dan sejalan dengan akibat yang dihasilkannya;
mereka tak muncul dari sesosok dewa atau sang pencipta. Bila ada pihak yang mengatakan
bahwa kebahagiaan tak memiliki sebab penghasilnya, itu artinya kita akan
senantiasa merasakan kebahagiaan. Tapi, tentu saja, bukan demikian halnya. Kadang-kadang
kita merasa bahagia, di lain waktu kita merasa tak bahagia. Susah dan senang
datang silih berganti dan berubah-ubah sesuai sebab-sebabnya. Jika ada sebab,
maka kita akan merasakan akibat. Tanpa sebab, kita takkan merasakan akibat.
Sebab-sebab kebahagiaan
dan penderitaan tak bisa muncul dari sesuatu yang tak cocok atau tak sejalan.
Mereka tak muncul dari dasar bumi atau bawah tanah. Mereka tak muncul dari
balik kegelapan atau dianugerahkan oleh sesosok pencipta. Mereka juga bukan
berasal dari sebab awal atau esensi awal. Prinsip ini berlaku secara umum
maupun khusus pada setiap momen yang kita rasakan. Masing-masing perasaan yang
kita dapatkan pada setiap momen tunggal dihasilkan oleh masing-masing sebab
yang bersesuaian. Tak mungkin ada kesalahan atau campur aduk antara sebab dan
akibat yang dihasilkan, baik pada level umum maupun level khusus. Lamrim Agung
mengatakan: “Secara umum, kebahagiaan dan penderitaan berasal dari karma baik
dan karma buruk. Mereka muncul dari kedua jenis karma ini tanpa terkacaukan
satu sama lain. Pengetahuan yang kukuh tentang kepastian hukum karma disebut
sebagai pandangan benar untuk semua Buddhis dan dipuji sebagai fondasi bagi
semua kebajikan.”
Alangkah baiknya
jika kita bisa merenungkan kepastian hukum karma sambil merujuk pada pengalaman
pribadi kita. Setiap saat, kita senantiasa mengalami salah satu dari ketiga
jenis perasaan: menyenangkan, tak menyenangkan, dan netral. Semua makhluk
memiliki batin, dan batin ini senantiasa berfungsi. Batin kita terdiri dari
batin utama dan faktor-faktor mental. Di antara faktor-faktor mental, ada satu
kategori yang disebut faktor mental yang senantiasa hadir. Dan di antara 5
faktor mental (skandha) yang senantiasa hadir, salah satunya adalah
perasaan, dan hanya ada 3 kategori perasaan: menyenangkan, tak menyenangkan,
dan netral.
Coba amati dan
perhatikan apa pun yang kita rasakan saat ini. Seandainya kita merasa bahagia, kuatkan
perasaan tersebut sehingga ia menjadi semakin jelas dan kuat. Lalu, kenalilah
ia sebagai sesuatu yang muncul dari kebajikan. Sebaliknya, bila kita merasa tak
bahagia, maka sadarilah perasaan tersebut dan buat ia agar menjadi semakin
jelas dan kuat. Lalu, kenalilah ia sebagai sesuatu yang muncul dari ketidakbajikan.
Hal yang sama juga berlaku pada perasaan netral. Dengan cara ini, kita bisa
benar-benar memahami bahwa masing-masing perasaan selalu dihasilkan oleh
sebab-sebab yang bersesuaian dengannya. Pada dasarnya, kalau kita sudah
memahami konsekuensi dari berbagai jenis tindakan, kita pastinya akan bertekad
untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya dan menghindari ketidakbajikan
sebisa mungkin, berhubung kita ingin senantiasa berbahagia dan tak ingin
mengalami secuil pun penderitaan. Demikianlah penjelasan untuk karakteristik
karma yang pertama, yakni kepastian karma.
Pertumbuhan
karma yang pesat karakteristik yang kedua adalah pertumbuhan karma
yang pesat. Artinya, sebuah tindakan sekecil atau seremeh apa pun bisa
berkembang menjadi himpunan karma yang besar. Contohnya, bila hari ini kita
membunuh satu makhluk dan tak mengakui kesalahan tersebut, maka esok hari
karmanya sudah setara dengan membunuh dua makhluk. Esoknya lagi karma ini sudah
berkembang empat kali lipat, dst. Jadi, walaupun kita hanya membunuh seekor
serangga kecil, karmanya bisa menjadi setara dengan membunuh seorang manusia
jika kita tak segera mengakui kesalahan kita. Secara umum, proses pertumbuhan
yang terjadi pada fenomena-fenomena eksternal seperti pertumbuhan sebuah benih
tanaman pun sudah merupakan proses yang luar biasa dan mengagumkan. Namun,
pertumbuhan internal, seperti pertumbuhan karma, bahkan jauh lebih pesat dan
luar biasa lagi. Jika poin ini sudah dipahami, kita tak boleh lagi meremehkan
karma buruk apa pun. Prinsip yang sama berlaku untuk karma baik. Karma baik
sekecil apa pun yang dihasilkan akan tumbuh dengan pesat jika motivasi baik
yang melandasinya bisa terus dipertahankan. Ada banyak sekali Sutra yang melukiskan
proses pertumbuhan karma ini, salah satunya adalah Sutra Si Bijak dan Si Dungu.
Di dalam Lamrim
Agung, terdapat penjelasan ihwal orang-orang yang telah mengalami kemerosotan
dalam 4 hal: sila, ritual, mata pencaharian, dan pandangan filosofis. Dijelaskan
bahwa orang-orang ini belum sepenuhnya merosot dalam hal terakhir, tapi juga
belum sepenuhnya mencapai kemurnian dalam tiga hal pertama. Buddha mengatakan
bahwa orang-orang seperti ini akan terlahir sebagai naga. Alkisah, Raja Naga
pernah mengajukan pertanyaan kepada Buddha: “Bhagawan, pada permulaan kalpa,
aku tinggal di lautan besar dan Tathagatha Krakucchanda masih ada di dunia.
Pada waktu itu, para naga berikut putra-putri mereka hanya berjumlah sedikit,
dan dengan demikian pengikutku tak banyak. Sekarang, Bhagawan, jumlah para naga
berikut putra-putri mereka sudah tak terhingga. O Bhagawan, apa sebab dari
kondisi yang demikian?” Jawaban yang diberikan oleh Buddha kepada Raja Naga:
“Wahai Raja Naga, ada makhluk-makhluk yang telah melepas dunia dan melatih
sila, namun mereka tak benar-benar menyempurnakan sila-silanya. Praktik mereka
tak sepenuhnya sempurna karena ritual mereka merosot, mata pencaharian mereka
merosot, dan sila mereka juga merosot. Tapi, pandangan mereka tetap benar. Jadi,
meski setelah mati mereka tak terlahir kembali sebagai makhluk neraka, mereka akan
terlahir kembali sebagai naga.”
Dalam kisah ini,
Buddha merujuk pada praktik sila. Praktik sila tak hanya mencakup sila
kebiaraan yang dijalankan oleh anggota Sangha, tapi juga merujuk pada tindakan
menghindari perbuatan salah, yang tak mesti tercakup dalam daftar sila. Ritual
merujuk pada perilaku, baik perilaku sehari-hari maupun perilaku setelah
mengambil ikrar penahbisan. Ritual penahbisan yang merosot mencakup cara makan,
berjalan, dsb. Perilaku sehari-hari yang merosot merujuk pada mata pencaharian
yang keliru. Pandangan yang merosot merujuk pada pandangan yang menafikan hukum
karma. Bagi pihak yang tidak menjaga 3 hal pertama namun masih mempertahankan
pandangan benar terhadap hukum karma, mereka akan terlahir kembali di alam naga
setelah mati. Dikisahkan lebih lanjut bahwa selama periode Buddha Krakucchanda,
980 juta perumah tangga dan mereka yang melepas keduniawian terlahir sebagai
naga karena ritual, mata pencaharian, dan sila yang merosot. Selama periode
Buddha Kanakamuni, jumlahnya mencapai 640 juta orang.
Selama periode
Buddha Kasyapa, jumlahnya mencapai 800 juta orang. Selama periode Buddha
Shakyamuni, 990 juta orang telah dan akan terlahir kembali sebagai naga.
Meskipun terlahir kembali sebagai naga, namun karena keyakinan terhadap ajaran
yang tak merosot, kelak setelah mati nanti, mereka akan terlahir kembali sebagai
dewa atau manusia. Bahkan, terkecuali bagi mereka yang sudah memasuki Mahayana,
seluruh naga dengan keyakinan yang tak merosot ini akan memasuki nirwana pada
kalpa yang beruntung. Seluruh penjelasan rinci di atas terkandung di dalam
Lamrim Agung. Poin penting yang ingin disampaikan adalah: meski kita memiliki
sila, ritual, dan mata pencaharian yang merosot, pandangan yang benar terhadap
hukum karma akan menyelamatkan kita dari penderitaan alam rendah.
Kita takkan
mengalami akibat dari karma yang tidak kita lakukan karakteristik ketiga bisa dipahami
dengan mengamati peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Ada orang-orang
yang berangkat ke medan perang dan terbunuh, tapi sering juga ada segelintir
orang yang selamat; mereka biasanya hanya terluka, tidak sampai meninggal. Ada
juga orang-orang yang selamat dari kecelakaan parah yang menewaskan hampir
semua orang. Kalau kita memikirkannya baik-baik, sebenarnya ini bukan sebuah
keajaiban. Orang-orang yang selamat memang pada dasarnya tidak memiliki karma
untuk meninggal pada waktu dan kondisi saat itu.
Dengan kata
lain, seseorang takkan mengalami akibat dari karma yang tidak dilakukannya.
Karma yang dihimpun tidak akan
hilang begitu saja ketika, misalnya, sebuah karma baik telah dilakukan, maka
selama kebajikannya belum dihancurkan oleh klesha, kita akan mengalami
akibatnya. Hal yang sama berlaku untuk karma buruk. Tanpa memurnikan karma
buruk, kita pasti akan mengalami akibatnya. Demikianlah penjelasan ringkas
tentang 4 karakteristik hukum karma secara umum.
Komentar
Posting Komentar